Pengetahuan kita saat ini dari sumber-sumber asli tidak memperoleh gambaran jelas mengenai tahap-tahap awal sains dalam peradaban Islam. Dapat dikatakan bahwa munculnya sains terjadi pada paruh kedua dari abad kedua lahirnya Islam. Namun, pada saat itu lembaga sains dalam Islam sudah mapan dengan cabang-cabang yang definitif dan ilmuwan berkaliber internasional bekerja dalam disiplin ilmu seperti kosmologi, geografi, astronomi, dan kimia. Dengan demikian, sampai kita menemukan naskah baru dan sumber-sumber primer lainnya, kisah munculnya sains dalam peradaban Islam dapat dikatakan terjadi sekitar tahun 777. Pada tahun tersebut, Jabir bin Hayyan, salah satu ilmuwan Muslim masa awal ini dikatakan telah wafat.
Meskipun kurangnya sumber-sumber awal, kita yakin bisa melacak dua 
cabang sains—kedokteran dan astronomi—sampai ke jaman Nabi karena 
memiliki sumber yang memungkinkan untuk diverifikasi dalam menceritakan 
munculnya kedokteran dan astronomi di Madinah. Perkataan Nabi yang 
menyangkut kesehatan, penyakit, kebersihan, penyakit khusus, dan 
sekaligus pengobatan telah dikompilasi secara sistematis oleh generasi 
Muslim kemudian. Literatur ini memberikan dasar bagi suatu cabang ilmu 
kedokteran tertentu dalam Islam: al-Tibb al-Nabawi, Tata Cara Pengobatan Nabi.
 Banyak buku tentang tata cara pengobatan Nabi dapat kita akses. 
Bahasannya tidak hanya tentang bagaimana cabang kedokteran muncul, 
tetapi berisi pula diskusi-diskusi teoretis canggih pada kisaran seluruh
 pelajaran yang berhubungan dengan kesehatan dan kedokteran dalam Islam 
(Al-Jauziyyah, 1998). Demikian juga astronomi, bangsa Arab pra Islam 
secara radikal berubah di bawah pengaruh doktrin kosmologis Al-Quran 
yang melahirkan literatur astronomi khas Islam, umumnya disebut sebagai 
kosmologi bercahaya (al-hay’a as-saniya).
Ilmu-ilmu awal ini digunakan secara praktis oleh komunitas Muslim 
pertama yang tinggal di Madinah sebagai negara Islam yang baru, tetapi 
tidak hanya aspek utilitarian mereka yang menarik bagi kita di sini; apa
 yang menjadi perhatian kita adalah jaringan intrinsik dari ilmu-ilmu 
ini dengan Islam. Fondasi kedua cabang sains tersebut dapat ditunjukkan 
memiliki hubungan langsung dengan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai 
dua sumber yang mendefinisikan semua hal tentang Islam. “Ini adalah 
bukan suatu kebetulan”, kata George Saliba, “tradisi matematika 
astronomi yang membahas dasar-dasar teoritis astronomi juga 
didefinisikan sebagai tradisi hay’a [kosmologis], meskipun jarang
 menyentuh Al-Quran untuk referensi doktrin kosmologis” (Saliba, 
1994:17). Demikian pula ilmu-ilmu lain yang muncul dalam peradaban Islam
 dapat dikatakan memiliki hubungan intrinsik dengan pandangan dunia 
Islam, meskipun tentu saja menerima bahan-bahan dari peradaban lain. 
Jaringan dan koneksi secara terus menerus membangun sejarah munculnya 
sains dalam peradaban Islam.
Perluasan geografis Islam dalam abad pertama disertai dengan revolusi 
sosial yang menata ulang sosial, budaya, dan iklim intelektual dunia 
sebelumnya. Dalam hal yang sama, revolusi sosial memberikan kesempatan 
bagi peradaban Islam untuk menerima sumber-sumber materi ilmiah dari 
Yunani, Persia, dan India. Infusi ini bukanlah proses acak melainkan 
upaya terorganisir dan menyebar yang berkesinambungan lebih dari tiga 
abad yang melibatkan ribuan ilmuwan, cendekiawan, penerjemah, 
stakeholder, buku, instrumen, dan naskah langka. Harus ditunjukkan bahwa
 pendekatan ini merupakan cerita menarik, proses ini tidak mungkin 
terjadi adanya tanpa kemampuan untuk menerima dan menyerap peradaban. 
Dengan kata lain, sebelum kedatangan sumber ilmiah dari Yunani, India, 
dan Persia, harus ada tradisi ilmiah yang siap dan mampu memahami dan 
menerimanya. Kita mengetahui, misalnya, bahwa pada awal kuartal kedua 
abad ke delapan, risalah astronomi sedang ditulis di Sind (Pakistan) 
dengan bahasa Arab. Awal risalah ini seringkali didasarkan pada 
sumber-sumber India dan Persia, tapi dipekerjakan secara teknis dengan 
terminologi Arab yang tidak bisa eksis tanpa adanya tradisi astronomi 
mapan di peradaban Islam yang kemudian bisa menyerap sumber materi baru 
dari India dan Persia.
Kita lanjutkan dengan sejarah munculnya sains dalam peradaban Islam. 
Kita mencatat bahwa tradisi ilmiah Islam muncul dalam lingkungan 
intelektual kosmopolitan dan mereka yang membuat tradisi ini tidak hanya
 Muslim tetapi juga orang Yahudi, Kristen, Hindu, Zoroastrianisme, dan 
anggota komunitas lainnya. Misalnya, astronom India (mungkin seorang 
Hindu) sebagai bagian delegasi dari Sind yang tiba pada jaman Dinasti 
Abbasiyah ketika Khalifah Al-Mansur berkuasa (754-775). Dia (astronom 
India) mengetahui Sansekerta dan membantu Al-Fazari (paruh kedua abad ke
 delapan) menerjemahkan teks astronomi Sansekerta ke dalam bahasa Arab; 
bahkan teks ini mengandung unsur-unsur tradisi astronomi yang lebih tua.
 Hasil terjemahan Zij al-Sindhind, menjadi salah satu sumber dalam astronomi Islam (Pingree, 1970:103-23).
Munculnya tradisi ilmiah dalam suasana multi agama dan multi etnis 
adalah proses dinamis yang melibatkan interaksi antar stakeholder, 
cendekiawan, ilmuwan, penguasa, komunitas, dan para saudagar. Yang 
pasti, kegiatan ilmiah saat awal ini belum dilembagakan, tetapi kita 
mengetahui bahwa kelompok ilmuwan sudah bekerja sama pada paruh kedua 
abad ke delapan di Baghdad dan kota-kota lain masa Khalifah Abbasiyah. 
Kita juga harus ingat bahwa tradisi ilmiah berkembang pada saat 
ilmu-ilmu agama telah didirikan pada landasan yang kuat, seperti studi 
Al-Quran, filologi, tata bahasa, hukum, dan cabang studi agama lainnya 
yang beredar di kalangan ulama. Fakta ini sangat penting untuk 
penelitian karena sesudah terbentuknya ilmu agama berarti tradisi ilmiah baru yang muncul ke lingkungan intelektual sudah dibentuk terlebih dahulu oleh pemikiran keagamaan.
Dalam intensitas suasana kreativitas yang merasuki peradaban Islam 
selama periode awal tersebut, ada perselisihan besar dan polarisasi di 
semua tingkat masyarakat. Sains muncul sebagai suatu bidang penelitian 
yang berbeda, pada saat itu pemerintahan Islam dihadapkan pada dua 
masalah internal: pertama (656-661), dipicu oleh pembunuhan Usman
 sebagai Khalifah ketiga yang menyebabkan perang sipil. Sahabat-sahabat 
dekat Nabi berkonfrontasi satu sama lain dalam keadaan yang mengancam 
keberadaan komunitas Muslim.Kedua (680-692), muncul dari klaim 
saingan kekhalifahan yang mengakibatkan Husain bin Ali, cucu Nabi, 
terbunuh di Karbala di bulan Oktober tahun 680; Makkah terkepung oleh 
orang-orang bersenjata; sebuah kelompok sempalan radikal, Khawarij, 
mengambil alih daerah-daerah Arab. Ibn Al-Zubair sebagai salah satu 
sahabat dekat Nabi terbunuh di kota yang disucikan dari Makkah, tempat 
pertempuran tersebut dinyatakan melanggar hukum Al-Quran (QS. 2:217).
Kedua peristiwa tersebut mengakibatkan perdebatan intens para ulama, 
tidak hanya tentang apa yang terjadi dan kenapa, tapi juga seputar 
isu-isu mendasar lain yang muncul dalam konteks ini: Apakah ini masalah 
krisis kepemimpinan? Siapa yang memenuhi syarat untuk memimpin 
masyarakat? Apakah tindakan manusia sudah ditakdirkan? Apa batas-batas 
kebebasan manusia? Apa peran intelek manusia dalam hal agama? Apakah 
sifat yang tepat dari keadilan Tuhan? Apakah neraka, surga, dan semuanya
 merupakan atribut Tuhan? Ini semua terkait dengan perdebatan teologis 
yang akhirnya melahirkan aliran-aliran pemikiran yang berbeda, pada saat
 yang sama beberapamadrasah juga mengembangkan ilmu-ilmu alam.
Periode paling awal karya ilmiah ditulis ketika terjadi pemberontakan 
terhadap Bani Umayyah yang mengambil kendali kekhalifahan dan menggeser 
ibukota negara Islam dari Madinah ke Damaskus. Berasal di kota-kota Iran
 terutama di Merv, pemberontakan ini mendukung Khalifah Abbasiyah untuk 
pindah ke bagian barat di bawah pimpinan Abu Muslim yang telah menguasai
 kota Kufah pada pertengahan tahun 749. Awal tahun 750, Abul Abbas 
(digelari Al-Saffah)) memproklamasikan Khalifah Abbasiyah pertama
 kalinya di Kufah. Dua bulan kemudian, Umayyah dikalahkan dalam 
pertempuran terbesar di Zab dan pada bulan Juni tahun 750 sebagian besar
 dari mereka dibantai. Abdul Rahman I satu-satunya orang yang selamat 
dari keluarga yang berkuasa; ia melarikan diri ke Spanyol lalu 
mendirikan pemerintahan Umayyah (755-1031).
Selama pemerintahan Abul Abbas mengalami peperangan sampai menjelang 
kematiannya pada tahun 753; saudaranya, Abu Jakfar memproklamirkan 
dirinya sebagai Khalifah dengan gelar Al-Mansur. Pada tahun 762, 
Al-Mansur memutuskan untuk memindahkan ibukotanya ke tempat yang lebih 
aman. Dia sendiri yang langsung mengawasi proses seleksi lokasi; pilihan
 jatuh kepada sebuah kota kecil dan kuno yang menjadi ibukota 
pemerintahan Abbasiyah selama lima ratus tahun: Baghdad. Dengan mencakup
 kedua tepi sungai Tigris, ibukota yang baru dirancang sebagai sebuah 
kota melingkar dengan enam belas gerbang. Pembangunan dimulai pada 
tanggal 30 Juli 762, tanggal tersebut ditentukan astrolog dan insinyur 
bernama Al-Fazari. Kota ini secara resmi disebut Madinatul Islam, kota perdamaian.
Dimulai dengan pembangunan Baghdad, kita bisa menelusuri perkembangan 
tradisi ilmiah dalam peradaban Islam dengan keyakinan yang lebih tinggi;
 berbagai sumber bahan lebih dapat diandalkan dan ada peningkatan 
naskah-naskah yang tersedia.
Untuk memahami sifat sains peradaban Islam dalam tahap perkembangan ini,
 kita dapat mengeksplorasi secara garis besar saat kemunculannya pada 
paruh kedua abad ke delapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar